Nama Asliku Soimah Pancawati, Aku Dari Desa
Semua dimulai saat aku lahir pada tanggal 29 September 1980.
Aku anak perempuan desa yang lahir di kampung nelayan daerah pesisir
pantai utara pulau Jawa. Nama desaku Banyutowo, sebuah desa yang tenang
dekat tempat pelelangan ikan, dan rumahku hanya berjarak 100 meter dari
bibir pantai. Banyutowo berjarak 45 Km dari pusat kota Kabupaten Pati
Jawa Tengah.
Namaku Soimah Pancawati, panggil saja aku Imah. Nama itu pemberian Mbah Modin, orang yang dituakan di desaku. Keempat kakakku juga diberi nama oleh mbah Modin, dan semua berawalan So, kakak sulungku bernama Solihati, kakak kedua Solihin, ketiga Sofiah lalu Sofiatun, dan aku Soimah. Sejak Mbah Modin meninggal, keluargaku kehilangan “So”, jadilah adikku bernama Nur Laila dan Sinta Fitriani. Aku anak ke lima dari tujuh bersaudara, bapakku Hadi Narko seorang pemain ketoprak tobong yang kemudian mengabdi menjadi carik desa di Banyutowo. Ibuku Kasmiyati, perempuan tangguh yang sehari-hari berdagang ikan laut.
Sebagai carik desa, ayahku adalah orang terpandang. Desaku adalah kampung nelayan yang sederhana, dan aku hidup di lingkungan yang jauh dari kemewahan. Tapi keluargaku tidak hidup dalam kekurangan, di rumahku ada tivi, dan itu menjadi barang “mewah” di desaku. Setiap hari banyak orang di desaku yang numpang nonton tivi di rumah.
Ibuku sangat galak, meskipun keluargaku tergolong hidup kecukupan untuk ukuran desaku, tapi Ibu mengajarkan aku dan semua saudaraku tentang perjuangan hidup dan mengisinya dengan kerja keras. Sekolah nomer dua, nomer satu adalah membantu orang tua, begitu cara ibu mendidik aku. Dirumah sudah ada pembagian tugas, mulai dari kerjaan dapur, nyapu, ngepel, dan cuci piring. Aku sudah terbiasa, dan itu kita lakukan secara bergiliran.
Sejak SD aku terbiasa tidak menerima uang jajan, jarak dari sekolah ke rumah cukup dekat, jadi kalau haus atau lapar tinggal pulang ke rumah. Tugas menggarami ikan, membolak-balik ikan yang sedang diasapi adalah bagianku, bahkan tanganku sampai merah karena sering terkena asap panas, badankupun setiap hari bau ikan. Aku juga menyiapkan potongan blarak (daun kelapa kering) untuk membungkus ikan pindang. Setiap hari aku bangun jam 3 pagi menyiapkan ikan untuk dijual ke pasar, dan paginya aku pergi ke sekolah, setelah pulang sekolah aku istirahat sebentar dan makan siang, kemudian kembali melakukan tugas rutinku bergelut dengan ikan dan asap sampai jam 11 malam.
Aku tidak punya waktu bermain seperti teman-teman sebayaku, waktuku lebih banyak untuk bekerja membantu ibu mengolah ikan. Libur sekolah bukanlah hari istimewa buat aku dan saudaraku, tapi justru saat cuaca kurang baik dan nelayan tidak ada yang melaut, saatnya musim laut sepi, begitulah aku menyebutnya. Baru lah aku terbebas dari pekerjaan mengolah ikan, dan libur yang sebenarnya telah datang, aku bisa bermain sepuasku.
Di musim laut sepi inilah ibuku berjualan nasi, dan biasanya di lapangan dekat rumahku kedatangan rombongan ketoprak tobong yang selalu berpindah tempat seperti pasar malam. Dan biasanya waktu itu bersamaan dengan upacara adat sedekah laut yang berlangsung setiap tahun. Ibuku menyediakan nasi dan lauk pauk untuk rombongan ketoprak tobong yang tinggal cukup lama di lapangan desaku. Setiap berangkat sekolah, aku melewati area tobong di sela-sela kursi penonton. Aku sering menemukan uang recehan yang jatuh dari saku penonton di pertunjukan malam sebelumnya, dan itu membuat aku ketagihan untuk berburu uang receh di sela-sela kursi penonton setiap pagi saat aku berangkat ke sekolah.
Ketoprak tobong menjadi pengisi waktu bermainku di saat kecil, aku biasa nonton pertunjukan dari bawah panggung, dan tidak perlu bayar tiket. Hubungan keluargaku sudah sangat dekat dengan rombongan pemain ketoprak tobong. Dan aku mengenal pelawak Marwoto dan Mbok Beruk juga di lapangan dekat rumahku, saat mereka ikut rombongan ketoprak tobong dari Jogja.
Di kampungku para nelayan biasa menyalakan radio dengan suara yang cukup kencang, dan musik yang disukai adalah musik gambus, orang-orang biasa menyebutnya musik dangdut atau musik melayu. Dan aku sampai hafal banyak lagu dangdut karena sering mendengarkan secara tidak sengaja, aku sering ikut menyanyi ngikutin suara lagu dari radio itu. Kesukaanku iseng nyanyi, rupanya malah didukung sama ibu.
Waktu itu aku masih SD, setiap ibu nonton tivi bareng aku, ibu selalu bilang “Mbok kowe ki mlebu tivi kuwi, dadi aku iso ndelok kowe” (Coba kamu itu masuk tivi seperti itu, jadi aku bisa lihat kamu). Aku selalu merasa ibuku jahat saat aku kecil, ibuku galak, aku harus bekerja keras disaat teman seusiaku asyik bermain. Tapi sebenarnya ada doa yang kuat, yang aku sadari justru setelah beliau sudah tidak ada...................
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar